Politik

Surat Terbuka (2) untuk Hakim Konstitusi: Akankah Hakim Konstitusi “Merampas” Kedaulatan Rakyat Kemudian Menghadiahkannya kepada Penguasa Partai???

Oleh Ir. Bachtul

YANG MULIA Majelis Hakim Konstitusi..


Adakah di antara Yang Mulia menonton rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR RI dengan Menko Polhukam bapak Mahfud MD beberapa waktu lalu terkait dugaan TPPU ratusan Triliun?

Pada saat rapat tersebut terjadi dialog antara bapak Mahfud MD dengan bapak Bambang Pacul pimpinan Komisi III dari fraksi PDIP.


Pak Mahfud MD meminta kepada anggota DPR Komisi III agar Undang Undang Perampasan Asset dan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal disahkan oleh DPR.
Menarik tanggapan dari Bambang Pacul atas permintaan bapak Mahfud MD tersebut. Dimana Bambang Pacul mengatakan kalau mau minta pembahasan UU dimaksud jangan disampaikan ke anggota DPR, tapi sampaikan ke ketua Partai. Karena anggota DPR terserah kata Juragannya.
Bambang Pacul mengatakan kalau ditelpon ibu lalu disuruh diam/berhenti maka dia akan katakan siap Bu. Dan bila dia diperintah laksanakan, maka Bambang Pacul jawab “siap laksanakan’.


Yang Mulia Hakim Konstitusi,


Dari pernyataan Bambang Pacul di DPR tersebut kita dapat gambaran bagaimana tidak berdayanya anggota DPR di hadapan ketua umumnya. Kewenangannya sebagai anggota DPR dalam membahas UU bisa lenyap begitu saja jika tidak ada izin ketuanya.


Jangankan mau bertentangan dengan ketua partainya terkait substansi Undang Undang. Membahas Undang Undang tanpa izin saja mereka tidak berani !!!


Padahal Yang Mulia,

Bambang Pacul terpilih sebagai anggota DPR melalui sistem Proporsional Terbuka.
Dimana peran rakyat lebih menentukan dibanding peran ketua umum partai untuk membuat Bambang Pacul terpilih sebagai anggota DPR.
Dan dalam kesempatan lain Bambang Pacul mengatakan kalau dia di DPR mewakili partai dan bukan mewakili rakyat. Sehingga nama fraksinya adalah fraksi PDIP bukan fraksi rakyat tegas Bambang Pacul dikutip media.


Yang Mulia Hakim Konstitusi,


Jika dipilih dengan sistem Proporsional Terbuka saja sikap anggota DPR rata-rata sudah seperti Bambang Pacul.
Tentu sikap anggota DPR yang dipilih melalui sistem Proporsional Tertutup akan lebih parah lagi dibanding ketika dipilih dengan sistem Proporsional Terbuka.
Cengkraman ketua partai kepada anggota DPR tentu akan lebih kencang dan kuat dan mungkin juga malah “mematikan”.
Karena mereka terpilih lebih karena peran dari ketua partai dibanding peran rakyat atau pemilih. Mereka duduk lebih karena nomor urut pemberian ketua partai (1 dan 2)


Dan betapapun seseorang mendapat suara yang sangat besar dari rakyat, dia tidak akan bisa duduk sebagai anggota DPR/D kalau tidak berada di no urut 1 atau 2 (kecuali di daerah tertentu).


Sehingga suara rakyat dengan sistem Proporsional Tertutup hanya sebagai alat legitimasi atas keputusan ketua partai .
Dalam kesempatan ini saya juga tergelitik untuk bertanya kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi.


Apakah pemilu legislatif yang diadakan sekali 5 tahun, menurut hakim dilaksanakan untuk memilih wakil partai atau untuk memilih wakil rakyat ???
Sementara dalam konstitusi kita rakyat adalah pemegang kedaulatan !!!


Yang Mulia Hakim Konstitusi,
Pemegang kedaulatan di Negara kita adalah rakyat !!!
Begitulah bunyinya dalam pasal 1 UUD atau konstitusi kita. Sekali lagi di pasal 1 Undang Undang Dasar letaknya Yang Mulia !!!


Tapi apakah itu hanya sebuah kalimat kosong penghias konstitusi atau memang sesunguh-sungguhnya demikian.
Jika memang kalimat tersebut bukan sekadar syair dalam konstitusi tentu semestinya kedaulatan rakyat tersebut diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata oleh rakyat.
Satu satunya tempat untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat adalah pada saat Pilkada dan saat Pemilu untuk memilih Presiden, DPD dan DPR/D dalam pemilu.


Selebihnya kedaulatan rakyat akan diwakilkan pelaksanaanya kepada penyelenggara yang telah dipilih tadi maupun yang tidak dipilih oleh rakyat, seperti kekuasaan kehakiman termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) dan lembaga negara lainnya.
Apakah ruang pelaksanaan kedaulatan rakyat sedikit tadi mau Yang Mulia persempit lagi dengan menetapkan sistem Proporsional Tertutup dalam memilih wakil rakyat ???


Apakah kesempatan langka rakyat untuk melaksanakan kedaulatannya, akan Yang Mulia serahkan perannya kepada ketua dan penguasa partai politik melalui sistem Proporsional Tertutup ???
Padahal saat ini sebagian besar ketua partai malah secara terang terangan tidak ingin merampas hak rakyat tersebut !!!
Akan menjadi keanehan jika MK yang ngotot untuk “merampas” kedaulatan rakyat tersebut kemudian menyerahkannya kepada ketua partai, sementara ketua partai malah tidak menginginkannya !!!
Hanya partai pak Bambang Pacul lah yang kabarnya ngotot mengurangi peran rakyat dalam menentukan siapa yang akan duduk mewakili rakyat di DPR/D.


Mungkin ketua partai pak Bambang Pacul keenakan dapat anak buah sepatuh pak Bambang Pacul .Dan berharap pak Bambang Pacul lebih patuh lagi dibanding yang disampaikan dan dipertontonkannya beberapa waktu lalu di DPR.


Yang Mulia…
Membaca literatur yang ada, bahwa sebuah Undang Undang dapat dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bila isi Undang Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi atau UUD, serta merugikan hak konstitusional warga negara.


Apakah sistem Proporsional Terbuka bertentangan dengan UUD? Atau hanya bertentangan dengan selera partai tertentu atau bahkan hanya bertentangan dengan selera sebagian pribadi hakim konstitusi???
Mencermati pernyataan pernyataan anggota majelis hakim yang dikutip media, seolah-olah sistem Proporsional Terbuka yang sekarang digugat, sepertinya tidak sesuai dengan selera pribadi hakim konstitusi tertentu. (paling tidak terpersepsikan begitu)


Ada hakim yang membuat pernyataan bahwa sistem pemilu akan memakai sistem hybrid, padahal sidang belum selesai. Akan ada penyelenggara negara yang dipilih secara terbuka dan ada pula yang dipilih dengan sistem Proporsional Tertutup menurut hakim tersebut.
Seolah-olah lupa anggota majelis hakim tersebut, bahwa beliau adalah hakim dan beliau bukan lah perancang atau pembuat Undang Undang.


Jika beliau sebenarnya memang tertarik juga untuk merancang sebuah Undang Undang sesuai pikiran dan selera beliau ada baiknya beliau mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi dan mendaftar sebagai caleg dari salah satu partai politik.
Ada pula anggota majelis hakim yang sepertinya menjadikan kasus kader partai yang telah “berdarah darah” mengurus partai tapi tidak dipilih oleh rakyat sebagai wakilnya di DPR sebagai dasar untuk merubah sistem pemilu menjadi Proporsional Tertutup.


Apakah ada jaminan jika digunakan sistem Proporsional Tertutup maka yang dapat no urut 1 adalah kader yang telah berdarah-darah mengurus partai??
Apa jangan-jangan malah Harun Masiku dan tokoh populer yang dapat no urut 1 dan duduk di DPR/D
Apakah ada jaminan dengan sistem Proporsional Tertutup caleg populer dengan sumber daya yang ada tidak akan dapat no urut bagus (1 dan 2)


Apakah kalau yang duduk mewakili rakyat di DPR/D bukan kader partai yang berdarah-darah mengurus partai, itu artinya bertentangan dengan konstitusi ???
Apakah ada amanat dalam konstitusi bahwa yang duduk mewakili rakyat di DPR/D harus kader yang berdarah-darah mengurus partai???


Apakah dengan sistem Proporsional Terbuka partai terhambat untuk seluruhnya mencalonkan caleg dari kader-kader yang telah berdarah-darah mengurus partai???
Dan apakah dengan Proporsional Tertutup partai terhambat untuk seluruhnya mencalonkan caleg dan memberi no urut 1 kepada tokoh-tokoh populer yang sepertinya tak diinginkan hakim MK tertentu.
Yang Mulia …


Kelemahan dengan sistem Proporsional Terbuka tak bisa ditutupi hanya dengan mengubah sistem menjadi Proporsional Tertutup. Justru dengan sistem Proporsional Tertutup, kelemahan sistem malah menjadi lebih mendasar.
Anggota dewan malah akan lebih memilih lebih dekat dan patuh dengan ketua partainya, dibanding dengan rakyat pemilih. Padahal mereka adalah wakil rakyat.
Kami minta kepada Yang Mulia, agar lebih mengutamakan rakyat untuk menjadi pertimbangan utama dibanding mempertimbangkan siapa calegnya. Atau siapa yang harus duduk di DPR/D.
Perubahan dari Proporsional Terbuka menjadi Proporsional Tertutup hanya akan merampas kedaulatan rakyat untuk menentukan wakilnya yang duduk di DPR/D, dan akan berpindah hampir sepenuhnya menjadi kewenangan partai atau penguasa partai. Sehingga pemilu hanyalah tinggal sebagai alat legitimasi belaka.


Sementara dengan sistem Proporsional Terbuka, ada pembagian kewenangan antara partai dengan rakyat. Dalam sistem Proporsional Terbuka, partai mencalonkan dan siapa yang akan dicalonkan (nomination) tapi rakyat yang memilih dan menentukan siapa duduk (election).
Namun jika Yang Mulia tetap kukuh merubah sistem Proporsional Terbuka menjadi Proporsional Tertutup, maka akan menjadi “dosa” yang mulia ketika gedung DPR/D nantinya dipenuhi “petugas partai’ dibanding dipenuhi oleh wakil rakyat !!!
Dan satu-satunya manfaat dari perubahan Proporsional Terbuka menjadi tertutup adalah kerja KPU dan kerja Mahkamah Konstitusi menjadi lebih ringan, karena dengan sistem Proporsional Tertutup kerja KPU lebih sederhana.


Dan perkara atau perselisihan pemilu akan akan semakin sedikit. Jumlah perkara perselisihan pemilu akan turun drastis, sehingga beban kerja MK dan Hakim Konstitusi menjadi lebih ringan.
Jika hal ini yang ternyata menjadi pertimbangan Ketua KPU dan Hakim Konstitusi, yang cenderung teropinikan ke masyarakat untuk mengubah sistem Proporsional Terbuka menjadi Proporsional Tertutup.


Maka menjadi wajib memastikan agar Komisioner KPU dan Hakim Konstitusi ke depan haruslah berkelas Negarawan. Dan usulan DPR agar Hakim Konstitusi minimal berumur minimal 60 tahun layak untuk disetujui.


Walaupun dari awal, bahkan dari sebelum sidang dimulai persepsi yang muncul bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)akan merubah sistem pemilu menjadi Proporsional Tertutup, tapi kami yakin, Yang Mulia Hakim Konstitusi, akan memutus perkara ini sesuai hati nurani, dan sesuai pasal 1 Undang Undang Dasar yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.


Dan kami yakin, Yang Mulia tidak memutus perkara ini karena ingin berwacana dan bereksperimen dengan sistem hybrid.
Dan juga tidak pula memutus perkara ini, karena kasihan kepada kader partai yang telah berdarah-darah mengurus partai. Karena sesungguhnya tidak ada pula mengurus partai zaman sekarang sampai berdarah-darah. Kalau ada yang berdarah-darah itu malah karena berebut nomor urut (baca berita terkini).


Dan mengurus partai semestinya identik dengan mengurus rakyat. Kader partai yang dekat dengan rakyat dan populer di tengah rakyat serta mengurus rakyat, sesungguhnya sedang mengurus partai !!!
Dan kami yakin Yang Mulia Hakim Konstitusi akan menjaga integritasnya dalam memutus perkara ini. Dimana integritas disini juga berarti, bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi tidak memutus perkara melebihi kewenangan yang diamanatkan Undang Undang Dasar.
Walaupun semua bangsa Indonesia yakin bahwa segenap Hakim Konstitusi sekarang dengan reputasi amat mentereng, dapat menyusun Undang Undang Pemilu yang lebih hebat dibanding lembaga DPR.


Dan penulis juga yakin Yang Mulia Hakim Konstitusi tidak akan membatalkan Undang Undang yang samasekali tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar.
Dan tidak pula membatalkan Undang Undang yang tidak merugikan hak konstitusional penggugat. Karena UU pemilu dengan sistem Proporsional Terbuka sekarang tidak menghambat penggugat untuk dicalonkan dan dipilih.
Tapi jika para penggugat tidak dipilih oleh rakyat, jangan salahkan rakyat. Tapi mulai sekarang berusaha lah dekat dengan rakyat dan urus rakyat !!!


Dan terakhir penulis berdoa, semoga uji materi Undang Undang Pemilu ini bukan bagian dari skenario penundaan pemilu yang belum berhenti gaungnya sampai detik ini. *)


Penulis adalah Mantan Anggota DPRD Sumbar Dua Periode.
(Dua kali kalah dengan sistem pemilihan proporsional terbuka untuk DPR RI. Walau berada pada no urut 1. Tapi penulis tetap menganggap pemilihan berdasar suara rakyat tetap lebih baik dibanding sistem no urut)

Exit mobile version