Nasional

Surat Terbuka (3) untuk Hakim Konstitusi: Yang Mulia, Tarif No Urut 1 Melesat Miliaran Rupiah Jika Yang Mulia Putuskan Proporsional Tertutup

Oleh: Ir Bachtul


Yang Mulia,
Ini adalah surat terbuka saya yang ke-3 untuk Yang Mulia terkait gugatan sistem proporsional terbuka Yang Mulia sidangkan dan tentunya segera Yang Mulia putuskan.

Kita asumsikan Yang Mulia memutuskan sistem pengganti proporsional terbuka adalah sistem proporsional tertutup seperti Pemilu 2004 (sistem no urut). Maka bisa dipastikan “Tarif” no urut 1 akan melesat tajam !!!
Terutama no urut 1 di partai-partai besar.
Hampir 80% kursi di 84 dapil untuk DPR RI bisa dikatakan akan dikuasai oleh partai-partai besar.


Sehingga caleg no urut 1 dari partai besar di 84 dapil tersebut bisa dipastikan akan duduk. Kepastian duduk bagi caleg no urut 1, amat disadari oleh caleg maupun partai. Tidak hanya untuk DPR RI tapi juga untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.


Hal ini membuat no urut 1 menjadi rebutan para caleg. Dan sesuai hukum alam, setiap apa saja yang menjadi rebutan, dengan sendiri nilainya akan naik dan melesat.
Dan bagi partai tertentu, ini akan menjadi kesempatan pula untuk memasang tarif tinggi untuk no urut 1 ataupun 2. Tentunya dengan catatan, bahwa yang dimaksud sistem proporsional tertutup oleh Yang Mulia adalah sistem seperti yang berlaku pada pemilu tahun 2004.
Tapi jika yang dimaksud dengan sistem proporsional tertutup adalah seperti pemilu tahun 1999 atau sistem seperti zaman Orba. Maka tarif bagi yang ingin duduk akan jauh lebih tinggi lagi .
Karena biasanya pengusulan siapa caleg yang akan menduduki kursi yang diperoleh partai akan dilakukan setelah partai dipastikan dapat jatah kursi. Karena hal tersebut dilakukan setelah pemilu dan penghitungan suara selesai. Sehingga tingkat kepastiannya sudah 100%.


Yang Mulia,
Jangankan dengan sistem proporsional tertutup, dengan sistem proporsional terbuka saja, no urut 1 itu sudah bernilai tinggi. Padahal no urut tidak menentukan duduk atau tidaknya seorang caleg, karena yang menentukan adalah perolehan suara.
Saya punya pengalaman mengikuti Pileg tahun 2014 untuk DPR RI dari partai Nasdem dari Dapil Sumatra Barat 1. Saya dipercayakan pada no urut 1.
Ketika itu ada caleg no urut di bawah saya, yang menawar no urut 1 tersebut melalui pendiri partai Willy Aditya dan Jeffrie Geovanie sebesar 300 juta rupiah.
Tapi oleh Willy Aditya dan Jeffrie Geovanie hal tersebut ditolak dengan tegas. Dan saya oleh partai dipertahankan tetap pada no urut 1.


Ada juga caleg yang lain, yang terang terangan meminta no urut 1 tersebut kepada saya. Dan menyatakan kesiapannya untuk memenangkan partai, sambil memperlihatkan 3 buah sertifikat depositonya senilai kurang lebih 7 miliar rupiah.
Dan bahkan bersama pengurus DPW Sumbar, kami sampai menghadap ke ketua umum partai. Dan oleh ketua umum partai dijawab, kewenangan menentukan no urut sudah beliau delegasikan ke Bapilu Partai. Jangan malah dibawa lagi ke ketua umum.
Ketika itu Ketua Umum Pak Surya Paloh mengatakan kepada kami semua, “Sekarang kalian pergilah makan siang dulu dan berunding. Setelah makan siang datang kembali ke tempat saya”.
Tapi akhirnya kami semua tidak pernah datang kembali ke Pak Surya Paloh dan juga tidak pernah pergi makan siang bersama.


Pada tahun 2019, saya juga maju ke DPR RI dari partai PPP. Ketika saya tanya kepada Ketua DPW PPP Sumbar, kenapa si A yang menempati no urut 1. Beliau mengatakan si A menyanggupi kepada DPP untuk membantu membayar uang saksi sebesar 500 juta rupiah.
Dan belakangan saya dengar juga dari Ketua DPW si A tidak pernah membayar uang saksi yang dia janjikan.


Yang mulia,
Saya sengaja menceritakan hal di atas bukan dengan tujuan tertentu, tapi hanya sekadar untuk membawa imajinasi Yang Mulia terhadap apa yang bisa terjadi jika Yang Mulia memutuskan sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup.
Jika dengan sistem proporsional terbuka saja hal-hal yang saya gambarkan bisa terjadi. Tentu dengan sistem proporsional tertutup hal yang lebih dahsyat bisa terjadi pula.


“Jual beli” kedaulatan rakyat menjadi hal yang tidak terhindarkan dalam demokrasi kita pada akhirnya.
Dengan sistem proporsional tertutup (baik varian 2004 maupun varian zaman Orba) tidak hanya calon anggota legislatif yang akan pro-aktif “membeli” no urut kopiah ataupun kursi jadi kepada partai.
Tapi sulit dibantah, bahwa akan ada pula kemungkinan partai secara resmi maupun oknum partai secara diam-diam yang akan pro-aktif “menjual” no urut jadi (1 dan 2) atau malah kursi jadi kepada calon legislatif dari partai bersangkutan.
Diluar ‘jual beli”, no jadi ataupun kursi jadi, akan sangat mungkin juga “didistribusikan” dengan cara KKN yang lain seperti kolusi dan nepotisme.


Tapi yang pasti harga no urut jadi ataupun kursi jadi, akan berharga selangit.
Dan dengan sistem proporsional tertutup modal sosial untuk di DPR dan DPRD nyaris tidak berguna dan tidak berpengaruh.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak Yang Mulia Hakim Konstitusi untuk main tebak-tebakan harga no urut jadi, khususnya no urut 1 jika pemilu Yang Mulia putuskan adalah proporsional tertutup, dengan varian seperti Pemilu 2004.


Untuk tebakan saya, saya sampaikan seperti di akhir tulisan ini. Tapi untuk nilai tebakan Yang Mulia, silahkan Yang Mulia simpan dalam laci atau dalam hati Yang Mulia sendiri.


Ini nilai tebakan saya Yang Mulia untuk no urut 1.
DPR RI nilainya Rp5 – Rp10 miliar.
DPRD Provinsi nilainya Rp750 juta – Rp1,5 miliar.
DPRD kabupaten/kota nilainya Rp500 juta – Rp1 miliar.
Tebakan saya ini angkanya agak moderat Yang Mulia, mungkin nilai tebakan saya akan ditertawakan oleh caleg di DKI atau di Kalimantan.


Dan terakhir Yang Mulia, soal tarif no urut 1 atau no jadi ini jangan Yang Mulia tanya kepada Abang saya Prof Yusril Ihza Mahendra yang pro-sistem proporsional tertutup. Beliau pasti tidak akan tahu dengan angka-angka ini walau beliau juga merupakan ketua partai.
Yang Mulia tahu kan kenapa beliau tidak tahu ….., hehe.


Dan sebagai penutup, saya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh Yang Mulia Hakim konstitusi, jika ada kurang berkenan dari seluruh surat terbuka yang saya buat.
Dan saya masih punya keyakinan sampai detik ini, bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi tidak akan “merampas” kedaulatan rakyat demi siapapun dan demi apapun. Terima kasih. *)


(Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik/Mantan Anggota DPRD Sumbar Dua Periode)

Exit mobile version